Naskah Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara (RRIBN) menginformasikan bahwa 1 juta sampai 750.000 tahun lampau bumi Nusantara dihuni oleh makhluk setengah manusia setengah binatang, para Kawi yang penyusun naskah RRIBN menyebutnya sebagai satowa-purusa. Pada 600.000 -300.000 tahun lampau tanah ini dihuni oleh makhluk yang disebut bhuta-purusa, berkulit merah-hitam.
Bhuta-Purusa musnah pada 250.000 tahun lampau oleh pendatang dari daratan luar Nusantara, para pendatang ini disebut dengan yaksa-purusa. Pendatang baru ini berwujud denawa: tegap, tinggi, dan besar (dalam pendahuluan naskah RRIBN, makhluk ini diidentifikasi sebagai manusia purba). Pada waktu yang bersamaan, Nusantara juga dihuni oleh manusa-yaksa, tubuhnya lebih kecil dibanding yaksa-purusa: bekulit hitam dan berbulu. Dua jenis penghuni Nusantara itu juga musnah oleh pendatang baru dari utara.
Pada 50.000- 20.000 lampau Nusantara dihuni oleh makhluk bertubuh kecil di banding penghuni sebelumnya, para Kawi menyebutnya wamana-purusa. Konon mereka sudah mengenal perkakas rumah tangga baik yang terbuat dari dari batu, kayu, bambo, rumput dan tulang. Baru pada 40.000-20.000 tahun lampau daratan Jawa, Bali dan pulau-pulau di timur dihuni oleh manusia kerdil. Mereka tidak musnah semuannya, karna banyak dari perempuan-perempuan wamana-purusa yang kawin dengan para pendatang baru, tapi sebagian besar mereka akhirnya musnah seperti penghuni-penghuni sebelumnya akibat bencana, perang antar mereka, maupun dibinasakan oleh pendatang baru.
Mulai 10.000 tahun lampau sampai permulaan tahun Saka, Nusantara menjadi tujuan para pengungsi akibat perang dan kelaparan dari bumi belahan lain seperti dari: Syangka, Yawana, Campa,Gaudi, Saimwang, daratan Tiongkok, Dharma, dan Singha. Belakangan manusia perahu itu juga datang dari Singhala, Kalingga, dan Bharata. Pendatang dari Bharata ini yang mula-mula memperkenalka keyakinan Trimurtiswara (Brahma, Wisnu, dan Siwa).
Di antara kelompok-kelompok pengungsi dari India Selatan adalah orang-orang dari Wangsa Pallawa, wangsa yang sedang berperang dengan Wangsa Maurya (wangsanya Raja Candragupta, Asoka, dan Samudragupta), ada seseorang yang bernama Dewawarman (ada yang menyebut tokoh ini bukan pengungsi tapi pedagang). Dewawarman terdampar di pesisir utara Jawa Barat dan dikawinkan dengan anak seorang datu bernama Aki Luhurmulya (Aki Tirem) yang leluhurnya juga bukan dari Bumi Nusantara tapi berasal dari Hujung Medini. Dewawarman akhirnya mendirikan pemerintahan di Rajatapura dengan kerajaan bernama Salakanagara. Dia berkuasa selama 38 tahun (52-90 Saka).
Pada 262 Saka, Putri Sphatikarnawa Warmadewi dinobatkan sebagai penguasa Salakanagara menggantikan orang tuanya: Prabu Bhimadigwijaya Satyaganapati (Dewawarman VII) yang mati dibunuh pasukan Krodhamaruta dari India Selatan. Rani Sphatikarnawa Warmadewi kawin dengan pengungsi dari Negeri Bharata yang kerajaanya dikalahkan oleh Samudragupta, dia bernama Dharmawirya Dewawarman Salakabhawana. Kekuasaan Salakanagara di serahkan kepada suaminya, raja terakhir Salakanaga itu berkuasa sampai 285 Saka.
Penyatuan Kerajaan Salakanagara dengan Tarumanegara terjadi setelah perkawinan antara anak perempuan Prabu Dharmawirya Dewawarman Salakabhawana yang bernama Dewi Minawati (Prameswari Iswaritunggalprethiwi Warmandewi) dengan penguasa pertama Tarumanegara yang bergelar Jayasinghawarman Guru Dharmapurusa (berkuasa pada 280-304 Saka). Dia adalah seorang resi pelarian berwangsa Salankayana yang negaranya direbut oleh Maharaja Samudragupta dari Mangadha. Sang resi mendirikan padukuhan yang akhirnya menjadi kerajaan bernama Tarumanegara.
Sejak saat itu, terutama Jawa, diperintah oleh penguasa-penguasa keturunan pendatang. Karena itu jangan heran jika banyak gunung, sungai, nama kerajaan, dan julukan penguasanya mirip dengan sebutan-sebutan di tempat lain di luar Nusantara.
Lihat! siapa di antara mereka, penguasa-penguasa itu yang pribumi? Jika yang dimaksud pribumi adalah orang-orang yang beretnis asli Nusantara. Apakah mereka mirip dengan makhluk yang hidup di Nusantara 1 juta- 750.000 tahun lampau?
Saranku, jika kalian masih mendengar para politisi, penceramah, tukang kotbah, dan para kampret lainnya berbicara pribumi dan non pribumi yang berakibat pecahnya NKRI hanya untuk mencari dukungan agar berkuasa dan mendapat simpati politik, maka segera minta mereka untuk berkaca: apakah wajah mereka masih mirip dengan satowa-purusa atau bhuta-purusa yang hidup ribuan tahun lalu atau tidak?
Makinuddin Samin, penulis novel fiksi sejarah "AHANGKARA: Sengketa Kekuasan dan Agama"
Komentar
Posting Komentar