Sitiung Periode Awal
Sitiung adalah kampung tua. Itu sebuah fakta yang tak bisa dipungkiri. Jika ketuaannya tak diketahui khalayak banyak, maka itu karena minimnya kesadaran masyarakat Sitiung sendiri dalam mengkaji sejarahnya sendiri.
Nama Sitiung dalam logat lokal dieja Satiwuang yang terdiri 2 kata, yaitu Sati yang berarti ‘sakti’ dan Gawuang yang berarti lobang. Nama ini merujuk pada sebuah lobang atau terowongan alam bawah tanah (atau bisa juga disebut goa) yang menghubungkan dua tempat yang berada di Sitiung tersebut. Dua tempat tersebut tersebut adalah Toluak yang berada di aliran sungai Batanghari dan Mombiak di sebuah area lahan gambut. Jarak antara keduanya kurang lebih sekitar 1 Kilometer. Lobang ini sendiri bagi masyarakat Sitiung memang tergolong istimewa dan hanya orang-orang yang berilmu tinggi dan sakti yang bisa memasukinya. Itu kenapa asal-muasal nama Sitiung dikaitkan kepada lobang ini. Sebuah lobang sakti.
Sitiung tak lepas dari peradaban sungai Batanghari yang melegenda. Sebuah sungai yang mempunyai sejarah panjang di sepanjang alirannya yang mencapai 800 kilometer dan 600 kilometer di antaranya bisa dilalui kapal-kapal ukuran besar. Di sepanjang aliran sungai inilah kekuasaan kerajaan Malayu pernah berdiri dengan peradaban tinggi. Sebuah kerajaan yang di kenal namanya oleh negeri-negeri jauh, seperti Arab dan Tiongkok.
Ada banyak bukti peninggalan dari Kerajaan Malayu di wilayah Sitiung dan sekitarnya, di antaranya situs Padang Roco, situs Pulau Sawah, situs Siguntur, situs Bukit Awang Maombiak, situs Rambahan, Pemandian Raja di kaki Bukit Badu, dan lain-lainnya.
Jikalau kerajaan Malayu pernah berpusat di sebuah kota bernama Dharmasraya pada abad 12-13 M, yang wilayahnya di antaranya berada di posisi Sitiung sekarang, maka setidaknya Sitiung sudah ada sejak tahun 1100an M. Terlepas nama Sitiung di kala itu sudah dipakai atau belum, tetapi kenyataannya Sitiung sudah dihuni oleh manusia sejak hampir 1000 tahun yang lalu.
Kerajaan Sitiung
Selepas kepindahan pusat kerajaan Malayu ke Tanah Datar, seperti apa keadaan Sitiung? Tak banyak memang yang bisa digali atau belum banyak catatan tentang hal tersebut. Akan tetapi, berdasarkan tuturan tetua yang diceritakan secara turun-menurun, nampaknya Sitiung tetap menunjukkan eksistensinya. Salah satunya dengan keberadaan Kerajaan Sitiung yang merupakan salah satu dari tritunggal kerajaan di daerah hulu sungai Batanghari ini, atau yang lebih dikenal Cati Nan Tigo. 3 kerajaan itu adalah Kerajaan Sitiung, Kerajaan Siguntur, dan Kerajaan Padang Laweh.
Kerajaan Sitiung memang belum terbaca kapan tahun berdirinya, kapan berakhirnya, dan siapa pewaris kerajaannya di masa sekarang. Akan tetapi, dugaan awal kerajaan Sitiung berdiri setelah kerajaan Malayu hengkang ke Saruaso pada abad 14 M. Begitu juga dengan nama-nama yang pernah menjadi raja di Kerajaan Sitiung, belum banyak yang bisa diidentifikasi. Akan tetapi juga, berdasarkan beberapa Tjap Mohor yang disimpan oleh pemuka adat Sitiung sekarang (pemuka adat ini disinyalir masih keturunan raja-raja Kerajaan Sitiung) dapat diketahui beberapa nama yang pernah menjadi raja kerajaan Sitiung, di antaranya adalah Rajo Angek Garang (tahun tidak diketahui), Ali Raja Hitam (tahun tidak diketahui), Raja Tunggal (tahun tidak diketahui), dan Sutan Kotan (1295 H/1878 M).
Seorang pembesar dari Pagaruyung pun pernah diutus untuk menjadi raja di Kerajaan Sitiung, yang mana pembesar tersebut diberi gelar Raja Tumangguang. Dikirimnya raja dari Pagaruyung dikarenakan hilangnya pewaris raja sebelumnya yang bernama Tuanku Raja Nan Hitam. Akan tetapi, berdasarkan informasi dari tetua Sitiung, raja dari Pagaruyung tersebut tak pernah sampai ke Sitiung. Begitu pula hilangnya Tuanku Raja Nan Hitam pun ada kaitannya dengan konflik berkepanjangan di Kerajaan Sitiung. Konon kabarnya beliau dibunuh, begitu pula dengan ahli warisnya.
Sebagai catatan juga, agaknya Raja Hitam adalah nama gelar. Sebuah Tjap Mohor yang disimpan oleh salah seorang dari Orang Besar Sitiung bertulis Ali Raja Hitam. Diperkirakan sebelum terjadi konflik ada beberapa Raja Hitam yang lain. Selain itu, sebuah Piagam Raja Jambi juga menyebutkan kalau batas kerajaannya di bagian Hulu berbatas dengan Raja Hitam dan Raja Putih. Jadi, dugaan awal dapat disimpulkan kalau Raja Hitam salah satu trah yang pernah menjadi penguasa di Kerajaan Sitiung di masa lampau.
Berdasarkan cerita secara turun-menurun yang diperoleh dari tetua Sitiung, terungkap fakta bahwa Kerajaan Sitiung memang tak henti dilanda konflik perebutan kekuasaan. Oleh karena itu, berdasarkan kebijakan tokoh-tokoh berpengaruh pada masa itu, maka dibuat sebuah kesepakatan bahwa tak ada lagi raja yang sebenar raja di Sitiung. Perihal yang mengatur tatanan kehidupan di tengah masyarakat, maka ditunjuklah 3 orang besar dan jajarannya yang lebih dikenal dengan Ompek Tali. Bergantinya kekuasaan raja kepada Ompek Tali di tatanan Kerajaan Sitiung diperkirakan terjadi pada abad 19 M. Hal itu mengingat Tjap Mohor Sutan Kotan bertahun 1295 H/1878 M.
Yah, tak banyak memang yang bisa dituliskan terkait Kerajaan Sitiung dalam bentangan sejarah. Semua masih kabur dengan berbagai kemungkinan, tetapi sangat menarik untuk dikaji. Untuk sekarang, kalaupun ada cerita yang melingkupinya, secara etika belum elok untuk disampaikan, karena penuh dengan pernyataan kontroversial.
Akan tetapi, secara umum peran Kerajaan Sitiung masih tampak atas wilayahnya. Itu terbukti dengan kuasa pemangku adat Sitiung (Niniak Mamak Ompek Tali) masih cukup ‘sakti’ terhadap sengketa lahan di wilayah Sitiung dan sekitarnya. Keberadaan Ompek Tali masih dianggap dan sangat disegani. Bahkan, di beberapa kesempatan Ompek Tali menyelesaikan masalah yang tidak bisa diselesaikan Pemda dan Kapolres.
Sitiung Pada Masa Islam
Selain Kerajaan Sitiung, tercatat pula sejarah bahwa Sitiung menjadi salah satu pusat penyebaran Islam di hulu sungai Batanghari. Berdasarkan catatan harian Syaikh Abdullah yang disimpan oleh salah seorang tetua Sitiung, bahwa generasi awal pendakwah Islam di Sitiung (diperkirakan abad 16-17 M) adalah secara berurutan Syaikh Kapalo koto, Tuanku Alahan Panjang, dan Syaikh Tapian Biriang. Pada masa inilah Masjid Tua Sitiung dibangun. Generasi berikutnya (abad 18-20 M) adalah secara berurutan Syaikh Bagindo Lubuak Ipuah, Syaikh Kupiah Sighah, dan Syaikh Abdullah sendiri.
Syaikh Abdullah adalah yang merenovasi Masjid Tua Sitiung dalam bentuknya yang sekarang pada tahun 1924 M. Beliau lebih dikenal dengan Tuanku Ranah Pantai. Sosok Syaikh Abdullah sendiri cukup kontroversial. Cerita turun-menurun yang tersiar di Sitiung, bahwa beliau adalah seorang Raja dari hilir Sungai Batanghari yang mengasingkan diri ke sini karena dikejar Belanda. Raja dari kerajaan mana? Tersiar kabar beliau adalah Sultan Thaha yang merupakan raja Jambi. Benar atau tidaknya masih harus diperdebatkan dan tentunya sangat menarik untuk dikaji lebih dalam lagi.
Akan tetapi, terlepas dari semua itu, pengaruh Tuanku Ranah Pantai di Sitiung cukup besar. Murid-muridnya bertebaran di banyak tempat. Di antaranya yang cukup berpengaruh adalah Buya Tuanku Mudo Djaaka yang mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyyah (MTI) pada tahun 1928. MTI masih menjadi pusat pendidikan Islam sampai dengan tahun 1990an awal. Santri-santri datang tak hanya datang dari Sitiung dan sekitarnya, tetapi juga datang dari Riau dan Jambi. Akan tetapi, setelah periode 1990an awal MTI mati dan tak pernah hidup lagi. Sekarang yang tersisa dari MTI adalah bangunan tua, makam Buya Tuanku Mudo Djaaka, dan beberapa makam guru-guru yang pernah mengajar di MTI.
Masjid Tua Sitiung pun masih berdiri, tetapi seudah kehilangan 2 menaranya. Kondisinya sudah sedikit terlupakan. Sekelilingnya adalah pemakaman umum, termasuk juga makam Tuanku Ranah Pantai berada di lingkungan masjid. Adalah Tuanku Mudo Jamaluddin (masih keturunan Buya Tuanku Mudo Djaaka) yang masih berusaha supaya masjid tersebut tetap tegak syiar-syiar Islam di Masjid Tua Sitiung ini.
Pembacaan Cap Mohor oleh
Puan Anabel Galop via Tuan Ricky Syahrul :
Cap Mohor 1 :
RAJA HITAM Sitiung is located in Dharmasraya, West Sumatra al-wthiq bill Seri Sultan ... anakanda ... Ali Raja Hitam [bi]-balad keempat ... ini 'He who trusts in God, Seri Sultan ... honoured son ... Ali Raja Hitam in the state of the four ...'
Al-watsiqu billahi Seri Sulthan Sinara ananda kepada Khalifat Ali Raja Hitam sibalad keempat kampung Sitiung
Cap Mohor 2 :
SETELAH gambar di flip 180, terbaca: Al WASYIQU BILLAH SUTAN KOTAN IBNU ALMARHUM YANG NAW (Nun-Waw) TUAN TUNGGAL SANAT 1290 (sekitar tahun 1858)
Sumber : Usman Sitiung
Foto : Dua Cap Mohor Sitiung dan tinggalan lainnya




Komentar
Posting Komentar